SERBA SERBI BUKTI POTONG PPh PASAL 23 DAN 26
14 Oct, 2020 • 686 View

SERBA SERBI BUKTI POTONG PPh PASAL 23 DAN 26

YANG PERLU DIKETAHUI ( BAGIAN 1 )

Pada suatu sore ,seorang manajer pajak ingin membuka komputer stafnya di kantor untuk melihat rekapan bukti potong pajak. Kebetulan stafnya tidak masuk kantor sehingga manajer itu menelpon stafnya.

Manajer “ Hallo “

Staff “ Hallo Pak”

Manajer “ Komputermu dipasang password yah?”

Staff “ Iya Pak, agar tidak dilihat orang lain”

Manajer “ Tolong beritahu saya passwordnya”

Staff “ Bayarpajak,Pak”

Manajer “ Lho, kok passwordnya Bayarpajak?”

Staff “Justru password itu yang paling susah ditebak karena tidak ada yang suka penghasilannya dipotong untuk bayar pajak”   ? 

Jika kita membicarakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima, maka hal ini merupakan penerapan kebijakan witholding tax yang berlaku di Indonesia. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk melakukan pemotongan/pemungutan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan dan sekaligus menyetorkan ke kas negara. Pada satu sisi, hal ini akan menimbulkan kerumitan bagi wajib pajak pemotong karena kewajiban administrasi perpajakannya akan bertambah rumit. Namun di sisi yang lain, pajak dibayar pada saat penghasilan diterima melalui pemotongan sudah menjadi kebiasaan, jika penghasilan telah diterima maka penerima penghasilan mungkin akan lupa untuk membayar pajak. Dengan sistem pemotongan pajak, maka penerimaan negara dari pajak dapat dioptimalkan. Sebagai bukti pertanggungjawaban bahwa jumlah yang dipotong dari penghasilan telah disetorkan ke kas negara, maka pemotong pajak akan memberikan bukti potong kepada pihak penerima penghasilan yang dipotong. Dalam artikel ini, akan dibahas bukti potong witholding tax yaitu bukti potong PPh pasal 23 dan PPh pasal 26.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 11 Peraturan Direktur Jendral Pajak (Per Dirjen) nomor PER-04/PJ/2017, bukti pemotongan PPh pasal 23 dan/atau PPh pasal 26 adalah formulir/dokumen lain yang dipersamakan yang digunakan oleh pemotong pajak sebagai bukti pemotongan PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 dan pertanggungjawaban atas pemotongan PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 yang dilakukan. PPh pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau hadiah dan penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21. Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 36 tahun 2008 (UU PPh), jenis penghasilan yang dikenakan PPh pasal 23 beserta tarif pemotongan antara lain:

i. Dividen (tarif 15%)

ii. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian hutang (tarif 15%)

iii. Royalti (tarif 15%)

iv. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21 (tarif 15%)

v. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali yang telah dikenakan PPh pasal 4 ayat 2 (tarif 2%)

vi. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21 (tarif 2%). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 141/PMK.03/2015, terdapat 62 jenis jasa lain yang termasuk objek PPh pasal 23. 

Namun ada jenis penghasilan yang tidak dikenakan PPh pasal 23 antara lain:

I. Penghasilan yang dibayar atau terutang bank

II. Sewa yang dibayarkan /terutang sehubungan sewa guna usaha dengan hak opsi.

III. Dividen yang diterima /diperoleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia dengan syarat:

Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan

Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.

IV. Dividen yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

V. Bagian laba yang diterima anggota persekutuan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

VI. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya.

VII. Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha/jasa keuangan yang berfungsi sebagi penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan peraturan menteri keuangan.

Pihak pemotong pajak PPh pasal 23 adalah:

1) Badan pemerintah

2) Subjek pajak dalam negeri

3) Penyelenggara kegiatan

4) Bentuk Usaha Tetap (BUT)

5) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

6) Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk Dirjen Pajak yaitu:

Akuntan, arsitektur, dokter, notaris, PPAT kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.

Orang pribadi yang menjalankan usaha dan menyelenggarakan pembukuan.                 Namun wajib pajak orang pribadi tersebut hanya boleh melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas sewa dan telah memiliki surat keputusan penunjukan sebagai pemotong pajak penghasilan pasal 23 yang diterbitkan Kantor Pelayanan Pajak.

Sedangkan pihak penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 23 adalah:

1) Wajib pajak dalam negeri (orang pribadi atau badan usaha)

2) BUT (Bentuk Usaha Tetap)

Namun ada hal penting yang harus diperhatikan, apabila penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, tarif PPh 23 yang dipotong menjadi 100% lebih tinggi.

Untuk memudahkan pemahaman PPh pasal 23 akan diberikan ilustrasi perhitungannya sebagai berikut:

Pada bulan Agustus 2019, PT. Napas memberikan royalti kepada Angelina sebagai penulis buku sebesar Rp 100 juta. Angelina tidak memiliki NPWP. PPh pasal 23 yang dipotong PT. Napas adalah sebesar 200% x 15% x Rp 100 juta = Rp 30 juta.

PPh pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri atas pembayaran yang dilakukan kepada wajib pajak luar negeri selain BUT di Indonesia. Besarnya tarif PPh pasal 26 adalah 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas:

i. Dividen.

ii. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan jaminan pengembalian hutang.

iii. Royalti, sewa, penghasilan lain sehubungan penggunaan harta.

iv. Imbalan berhubungan jasa, kegiatan, pekerjan.

v. Hadiah dan penghargaan.

vi. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.

vii. Premi, SWAP dan transaksi lindung nilai.

viii. Keuntungan karena pembebasan hutang.

Namun penghasilan yang diperoleh dari panjualan atau pengalihan harta di Indonesia kecuali diatur dalam pasal 4 ayat 2 yang diterima/diperoleh wajib pajak luar negeri selain BUT di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto. Namun tarif 20% tersebut bisa berubah apabila negara asal wajib pajak luar negeri mengikuti tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia. Besarnya tarif dalam P3B biasanya untuk mengurangi tingkat tarif normal 20% dan mungkin saja memiliki tarif 0%. Untuk memudahkan pemahaman PPh pasal 26, akan diberikan ilustrasi perhitungannya sebagai berikut:

Rowan Atkinson adalah karyawan asing berasal dari Denmark. Pada bulan April 2019 Rowan Atkinson memperoleh gaji USD 10,000 perbulan. Kurs yang berlaku menurut Menteri Keuangan adalah 1 USD = Rp. 13,997. Dengan asumsi tidak ada P3B antara Denmark dengan Indonesia, maka PPh 26 yang dipotong untuk bulan April 2019 sebesar 20% x (USD10,000 x Rp.13,997) = Rp.27,994,000 (bersifat final).

Pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang bukti pemotongan PPh pasal 23 dan PPh pasal 26. Aturan yang menjadi landasan hukum untuk bukti pemotongan PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2017 yang mulai berlaku tanggal 31 Maret 2017. Hal-hal yang diatur dalam PER-04 tersebut antara lain:

a) Bentuk, isi dan tata cara pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa                 (SPT masa) PPh pasal 23 dan/atau pasal 26.

b) Bentuk bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 23 dan/atau pasal 26.

SPT masa PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 terdiri dari:

a. Induk SPT masa PPh pasal 23 dan/atau pasal 26.

b. Daftar bukti pemotongan PPh pasal 23 dan/atau pasal 26.

c. Daftar surat setoran pajak, bukti penerimaan negara dan/atau bukti pemindahbukuan untuk penyetoran PPh pasal 23 dan/atau pasal 26. Yang dimaksud pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.

Pemotong pajak wajib membuat dan memberikan bukti pemotongan kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak. Pemotong pajak diperkenankan membuat satu bukti pemotongan untuk menggabungkan dua atau lebih transaksi dengan ketentuan satu bukti pemotongan yang dibuat hanya dapat digunakan untuk satu wajib pajak, satu kode pajak dan satu masa pajak. Pihak pemotong harus membuat bukti potong apabila:

a) Jumlah PPh pasal 23 yang dipotong nihil karena adanya Surat Keterangan Bebas.

b) Jumlah PPh pasal 26 yang dipotong nihil karena adanya Surat Keterangan Domisili.

c) PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 yang terutang ditanggung pemerintah yang diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Pemotong pajak dapat menyampaikan SPT masa pasal 23 dan/atau pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) dengan ketentuan :

1) Menerbitkan tidak lebih dari dua puluh bukti pemotongan dalam satu masa pajak; dan

2) Jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak penghasilan tidak lebih dari seratus juta rupiah untuk setiap bukti pemotongan dalam satu masa pajak.

Cara penyampaiannya adalah langsung datang ke kantor pajak, melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke kantor pajak, melalui layanan pajak di luar kantor. Penyampaian SPT masa PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 dalam bentuk formulir kertas harus dilampiri dengan:

a) Bukti pemotongan

b) Surat setoran pajak atau bukti penerimaan negara dalam hal PPh dilunasi dengan setoran ke kas negara.

c) Bukti pemindahbukuan dalam hal pelunasan pajak kurang bayar melalui pemindahbukuan.

d) Surat kuasa khusus bermaterai cukup apabila SPT masa ditandatangani kuasa pemotong pajak.

e) Fotokopi surat keterangan bebas yang telah dilegalisasi, apabila ada PPh pasal 23 yang dibebaskan.

f) Fotokopi surat keterangan domisili dalam hal tarif PPh pasal 26 sesuai P3B.

g) Fotokopi SPT masa PPh pasal 23 dan/atau pasal 26 yang dibetulkan, termasuk lampiran dan bukti penerimaan surat dalam hal penyampaian SPT masa pembetulan.

( Bersambung )

Apabila ada pertanyaan sehubungan dengan artikel ini ,sampaikan pertanyaan melalui email trust_consultant18@yahoo.com. Salam hormat penulis.

Penulis : Lay Thiam Siong & Cunyah Tantan – Trust Consultant ( Tax And Accounting )

Sumber :

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak  Nomor PER-04/PJ/2017
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015